Hukum Mandi di Air yang Menggenang
Bismillaah. Afwan mau tanya:klo mndi mnggunakan air yg menggenang/tdk mengalir.yg itu kdang buat mndi banyak org ki hukumny pripun njih?
Itu air dibekas galian tanah
Dari: Ummu Ihsan di Tegalwaton Salatiga.
Jawaban:
Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.
Jawaban pertanyaan ini, kembali pada pembahasan hukum air bekas bersuci (air musta’mal) apakah dapat digunakan untuk bersuci kembali ataukah tidak.
[1] Mayoritas ulama menilai, air bekas bersuci tidak dapat digunakan untuk bersuci kembali, meskipun status air tersebut suci.
Jadi suci, tapi tidak dapat mensucikan.
Mereka berdalil dengan hadis Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berikut:
لا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ [الراكد]، وَهُوَ جُنُبٌ
“Janganlah kalian mandi di air yang menggenang sementara ia junub”.
Seorang bertanya kepada sahabat Abu Hurairah, ” Lantas bagaimana seharusnya Abu Hurairah?”
“Hendaknya dia menciduk air itu..” jawab Abu Hurairah. (HR. Muslim)
Al-Hafidz Al-‘Iroqi rahimahullah memberikan penjelasan,
اسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيُّ وَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ الْمُسْتَعْمَلَ مَسْلُوبُ الطَّهُورِيَّةِ ، فَلَا يَتَطَهَّرُ بِهِ مَرَّةً أُخْرَى ، وَلَوْلَا أَنَّ الِاغْتِسَالَ فِيهِ يُخْرِجُهُ عَنْ كَوْنِهِ يَغْتَسِلُ بِهِ مَرَّةً أُخْرَى لَمَا نَهَى عَنْهُ
Syafi’i dan mayoritas ulama (Jumhur) berdalil dengan hadis ini bahwa air musta’mal kehilangan fungsi dapat mensucikan. Sehingga tidak dapat digunakan untuk bersuci kembali. Kalau saja dengan mandi di air menggenang tersebut tidak menjadikan air itu tidak dapat digunakan bersuci kembali, tentu tidak akan dilarang. (Torhut Tastrib fi Syarhit Taqriib, 1/31)
Dalam Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menambahkan keterangan,
وَيَزِيدُ ذَلِكَ وُضُوحًا قَوْلُهُ فِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : ( يَتَنَاوَلُهُ تَنَاوُلًا ) ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمَنْعَ مِنَ الِانْغِمَاسِ فِيهِ لِئَلَّا يَصِيرَ مُسْتَعْمَلًا ، فَيَمْتَنِعُ عَلَى الْغَيْرِ الِانْتِفَاعُ بِهِ ، وَهَذَا مِنْ أَقْوَى الْأَدِلَّةِ عَلَى أَنَّ الْمُسْتَعْمَلَ غَيْرُ طَهُور
Kesimpulan ini semakin tampak benar dengan adanya keterangan dalam riwayat Muslim, “Hendaknya dia menciduk air tersebut..” Ini menunjukkan, bahwa larangan berendam pada air yang menggenang supaya air tersebut tidak menjadi musta’mal. Sehingga orang lain tidak lagi dapat memanfaatkannya untuk bersuci. Hadis ini diantara dalil terkuat yang menunjukkan bahwa air musta’mal tidak dapat digunakan untuk bersuci. (Fathul Bari 1/414).
Maka berdasarkan pendapat ini, seorang tidak boleh mandi di genangan air. Supaya air tersebut tidak menjadi mubazir karena dapat dapat digunakan untuk bersuci kembali, dan supaya memberikan kesempatan kepada orang lain yang ingin bersuci dengan air tersebut.
[2] Air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci kembali.
Pendapat ini dipegang oleh Mazhab Maliki dan sebagian ulama peneliti mazhab (Muhaqqiq) seperti, Imam Nawawi dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahumullah-.
Dalil paling kuat yang mendukung pendapat ini adalah sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam,
إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
Sesungguhnya air itu suci tidak ada yang dapat menajiskannya. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa-i).
Dari hadis ini kemudian para ulama menyimpulkan kaedah,
الأصل في الماء الطهارة
Hukum asal air adalah suci.
Artinya, selama sifat air tidak berubah; aromanya, warnanya, rasanya, oleh benda najis, maka status air tetap suci dan dapat mensucikan.
Adapun kesimpulan yang disampaikan oleh Al-Hafidz Al-‘Iroqi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar di atas, yang menyatakan bahwa alasan tidak boleh mandi berendam di air yang menggenang adalah, supaya air tidak menjadi musta’mal sehingga tidak dapat digunakan bersuci kembali, adalah kesimpulan yang kurang tepat. Karena tak ada satupun dalil yang tegas menerangkan bahwa air musta’mal tidak bisa digunakan untuk bersuci kembali.
Alasan yang tepat: supaya sifat air tidak berubah, sehingga tidak dapat lagi digunakan untuk bersuci.
Imam Nawawi rahimahullah menegaskan,
وَفِي هَذَا الِاسْتِدْلَالِ نَظَرٌ ؛ لِأَنَّ الْمُخْتَارَ وَالصَّوَابَ أَنَّ الْمُرَادَ بِهَذَا الْحَدِيثِ النَّهْيُ عَنْ الِاغْتِسَالِ فِي الدَّائِمِ وَإِنْ كَانَ كَثِيرًا لِئَلَّا يُقَذِّره ، وَقَدْ يُؤَدِّي تَكْرَارُ ذَلِكَ إلَى تَغَيُّرِهِ
Kesimpulan seperti ini (yakni yang disampaikan oleh (Al-Hafidz Al-‘Iroqi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar) tidaklah tepat. Karena yang tepat adalah maksud hadis itu larangan berendam mandi di air yang menggenang supaya tidak mengotori air
Yang terkadang dapat menjadikan sifat air berubah.
(Al- Majmu’ 1/206, penjelasan tentang dalil-dalil air musta’mal bisa digunakan bersuci, bisa anda temukan panjang lebar di kitab Al Majmu’ 1/205-208)
Pendapat inilah yang lebih tepat, wallahua’lam. Sebagaimana dipandang kuat oleh Syekh As-Sa’di, Syekh Ibnu Baz dan Syekh Ibnu Utsaimin –rahimahumullah-. (https://islamqa.info/amp/ar/answers/224255)
Berdasarkan kesimpulan ini, seorang boleh mandi berendam pada air yang menggenang dan menggunakannya untuk bersuci. Karena meski status air telah terpakai untuk bersuci (musta’mal), tetap dapat digunakan untuk bersuci kembali.
Namun, memilih hati-hati dengan mencari air yang lain, tentu lebih baik. Jangan sampai kita sholat sementara ada keraguan tentang status air menggenang yang kita gunakan berwudhu atau mandi janabah. Apalagi kaidah mengatakan,
خروج من الخلاف العلماء مستحب
Keluar dari perselisihan pendapat diantara ulama, hukumnya dianjurkan.
Dengan kita mencari alternatif air lain untuk bersuci, kita terbebas dari kedua perselisihan ulama di atas. Langkah seperti ini adalah langkah yang terpuji dan menentramkan.
Wallahua’lam bis shawab.
***
Ditulis oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/34684-hukum-mandi-di-air-yang-menggenang.html